Tugas : Kebidanan Komunitas
Dosen : Hj.Sumarni, S.ST,SKM
DISUSUN OLEH
KELOMPOK I
1.
DIAN SOEKMAWATY RIEZQY ARIENDHA
2.
ANEVIA SAPPA MARAMPA
3.
AYU BELLA
4 BESSE ERNA
5.DESSY SYAFRIANI
|
6.A.TENRI TAWARRU
7. DINA
PANGGUA
8.ENDANG TRISNAWATI
9.FITRIANINGSIH
10.HADRIATY M
|
|
|
KATA PENGANTAR
Puji
syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa karena berkat himpunan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menylesaikan tugas makalah ini yang berjudul “Pelayanan
Kebidanan Komunitas pada keluarga Miskin,Terasing
Keluarga
Bencana Alam(KLB) dan Keluaraga pada daerah Konflik “dengan tepat waktu.
Dan
terimakasih pula kami sampaikan kepada Ibu Hj.Sumarni S.ST. SKM selaku dosen yang membimbig kami khususnya
pada mata kuliah” Kebidanan Komunitas “
. Karena tanpa adanya bimbingan bapak kami tidak mungkin dapat selesai
sebagaimana semestinya.
Kami mengetahui bahwa dalam makalah
ini masih banyak kekuranganbaik yang disadari maupun yang tidak disadari . Oleh
karena itu kami selaku sebagai penulis
megharafkan adanya sumbangsi dari pembaca dalam bentuk saran maupun kritik yang
sifatnya membangun karena tidak ada manusia yang sempurna ,hanyalah Tuhan yang
memiliki segala kesempurnaan.
Atas perhatiannya , kami ucapkan
terimakasih
Makassar,10 April 2012
Penulis
DAFTAR ISI
A. Kata
Pengantar.……………………………………………………………………i
- Daftar Isi …………..…………………………………………………………...…ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang….……………………………………………………….…........... .1
1.2
Tujuan makalah……….……………………………………………..………………2
1.3
Tujuan………………………………………………………………………………..3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Keluarga Miskin dan
terasing………………………………………… 4
2,2 Kriteria keluarga miskin dan terasing……………………………………………. 4
2.3
Usaha pemerintah dalam meningaktkan pelayanan kesehatan pada keluarga miskin5
2.4
PemberdayaanMasyarakat terasing……………………………………………… 10
2.5
Pengertian keluarga bencana alam/(KLB)………………………………………… 12
2.6 Penangannya……………………………………………………………………… 13
2.7
Asuhan Kebidanan komunitas pada masyarakat daerah konflik…………………. 16
2.7
BAB III Pembahasan
A. Kesimpulan............................................................................................................... 19
B.
Saran................................................................................................................ 19
Daftar Pustaka
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pembangunan
kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan
kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat
kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat
digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat
miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin. Salah satu
penyebabnya adalah karena mahalnya biaya kesehatan sehingga akses ke pelayanan
kesehatan pada umumnya masih rendah. Derajat kesehatan masyarakat miskin
berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di
Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup
(Susenas, 2003) dan AKI sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI
2002-2003).
Masayarakat adat masih disebut
sebagai masyarakat terasing yang membawa masalah sosial. Namun titik pandang
melihat masalah sosialnya yang berbeda. Mereka dianggap sebagai lapisan
masyarakat paling bawah dalam strata perkembangan masyarakat Ind. yang
mempunyai masalah sosial dengan berbagai ketertinggalan dalam pencapaian
pemenuhan kebutuhan dasar hidup layaknya manusia. Dengan keadaan ketertinggalan
itu mereka sulit untuk mencapai standart hidup manusia normal. Masalah sosial
masyarakat terasing ini, juga dilihat dalam koridor pemerataan hasil-hasil
pembangunan dan azas keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Banyak
faktor yang menyebabkan ketimpangan didalam pelayanan kesehatan terutama yang
terkait dengan biaya pelayanan kesehatan, ketimpangan tersebut diantaranya
diakibatkan perubahan pola penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan
kedokteran, pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran swadana (out of pocket).
Biaya kesehatan yang mahal dengan pola pembiayaan kesehatan berbasis pembayaran
out of pocket semakin mempersulit masyarakat untuk melakukan akses ke palayanan
kesehatan.
Selama
ini dari aspek pengaturan masalah kesehatan baru di atur dalam tataran
Undang-Undang dan peraturan yang ada dibawahnya, tetapi sejak Amandemen UUD
1945 perubahan ke dua dalam Pasal 28H Undang–Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam Amandemen UUD 1945 perubahan
ke tiga Pasal 34 ayat (3) dinyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Untuk
memenuhi dan mewujudkan hak bagi setiap warga negara dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan yang layak dan kewajiban pemerintah penyediaan fasilitas
kesehatan sebagai amanat UUD 1945 serta kesehatan adalah merupakan
kesehatan merupakan Public Good maka dibutuhkan intervensi dari
Pemerintah.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian keluarga miskin dan masyarakat terasing ?
2.
Bagaimana kriteria keluarga miskin dan masyarakat terasing ?
3.
Bagaimana usaha pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pada keluarga
miskin ?
4.
Bagaimana pemberdayaan masyarakat terasing ?
5. Pengertian keluarga Bencana alam,(KLB)
6. Penaganannya
7.
Asuhan kebidanan komunitas pada keluarga di daerah konflik
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian keluarga miskin dan masyarakat terasing.
2.
Untuk mengetahui kriteria keluarga miskin dan masyarakat terasing.
3.
Untuk mengetahui usaha pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan pada keluarga miskin.
4.
Untuk mengetahui pemberdayaan
masyarakat terasing.
5. Untuk mengetahui Pengertian keluarga Bencana alam,(KLB)
6. Untuk mengetahui Penaganannya
7.
Untuk mengetahui Asuhan kebidanan komunitas pada keluarga di
daerah konflik
1.4
Manfaat
Dengan
adanya makalah ini maka dapat memberikan manfaat serta pengetahuan yang berguna
bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa DIV Bidan Pendidik dalam memahami tentang
teknologi bayi tabung sebagai bekal untuk menjadi seorang bidan di masyarakat
dalam era globalisasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Keluarga Miskin dan Terasing
Keluarga miskin adalah seseorang atau
kepala keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok
atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat
memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
Masyarakat terasing adalah kelompok
orang/masyarakat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan kecil yang bersifat lokal
dan terpencil dan masih sangat terikat pada sumberdaya alam dan habitatnya yang secara
sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan masyarakat Indonesia
pada umumnya sehingga memerlukan pemberdayaan dalam menghadapi perubahan
lingkungan dalam arti luas.
2.2
Kriteria Keluarga Miskin dan Terasing
a.
Keluarga miskin
Seorang kepala
keluarga usia 18-59 tahun.
Penghasilan
rendah atau berada dibawah garis kemiskinan seperti tercermin dari tingkat
pengeluaran perbulan, yaitu Rp. 62.000,- untuk perkotaan, dan Rp. 50.090,-
untuk pedesaan (tahun 2000) per orang per bulan.
Tingkat
pendidikan pada umumnya rendah : tidak tamat SLTP, tidak ada ketrampilan
tambahan.
Derajat
kesehatan dan gizi rendah.
Tidak memiliki
tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK.
Pemilikan harta
sangat terbatas jumlah atau nilainya.
Hubungan sosial
terbatas,belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.
Akses informasi
terbatas.
b.
Keluarga terasing
1)
Hidup dalam
kesatuan-kesatuan sosial yang bersifat lokal dan terpencil.
a.
Berbentuk
komunitas kecil, tertutup dan homogen.
b.
Pranata sosial
bertumpu pada hubungan kekerabatan.
c.
Pada umumnya secara
geografis terpencil dan relatif sulit dijangkau atau terisolasi.
2)
Kehidupan dan
penghidupannya masih sangat sederhana
a.
Pada umumnya
masih hidup dengan sistem ekonomi subsistens (hanya untuk kepentingan
sendiri) belum untuk kepentingan pasar.
b.
Peralatan dan
tekhnologi sederhana, misalnya peralatan rumah tangga.
c.
Ketergantungan
pada lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat relatif tinggi.
d.
Terbatasnya
akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.
e.
Secara sosial budaya
terasing dan atau terbelakang.
2.3
Usaha Pemerintah Dalam Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Pada Keluarga Miskin
a.
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Untuk
menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun
1998 Pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk
miskin. Dimulai dengan pengembangan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS-BK)
tahun 1998 – 2001, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE)
tahun 2001 dan Program Kompensasi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) Tahun
2002-2004. Program-program tersebut diatas berbasis pada ‘provider’
kesehatan (supply oriented), dimana dana disalurkan langsung ke
Puskesmas dan Rumah Sakit. Provider kesehatan (Puskesmas dan Rumah Sakit)
berfungsi ganda yaitu sebagai pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan juga
mengelola pembiayaan atas pelayanan kesehatan yang diberikan. Kondisi seperti
ini menimbulkan beberapa permasalahan antara lain terjadinya defisit di
beberapa Rumah Sakit dan sebaliknya dana yang berlebih di Puskesmas, juga
menimbulkan fungsi ganda pada PPK yang harus berperan sebagai ‘Payer’
sekaligus ‘Provider’.
Penyelenggaraan
pelayanan kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu dengan
mana program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mengacu pada
prinsip-prinsip asuransi social, yaitu :
1.
Dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan
derajat kesehatan masyarakat sangat miskin, miskin dan tidak mampu.
2.
Menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost
effective dan rasional.
3.
Pelayanan terstruktur, berjenjang dengan Portabilitas dan ekuitas.
4.
Transparan dan akuntabel.
Dengan
pertimbangan pengendalian biaya pelayanan kesehatan, peningkatan mutu,
transparansi dan akuntabiltas, serta mengingat keterbatasan pendanaan,
dilakukan perubahan pengelolaan program Askeskin pada tahun 2008, dengan
memisahkan fungsi pengelolaan dengan fungsi pembayaraan dengan didukung
penempatan tenaga verifikator di setiap Rumah Sakit. Selain itu mulai di
berlakukannya Tarif Paket Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin di Rumah
Sakit dengan nama program berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat
(jamkesmas). Peserta Jamkesmas telah dibagi dalam bentuk Kuota disetiap
Kabupaten/Kota berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2006. kuota
tersebut menimbulkan persoalan mengingat masih banyak masyarakat miskin di
Kabupaten/Kota yang tidak masuk/menjadi peserta Jamkesmas sementara kebijakan
Jamkemas adalah bagi masyarakat miskin diluar Kuota yang ditetapkan maka
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah
Peserta
Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak mampu selanjutnya
disebut peserta Jamkesmas, sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data Badan
Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran
peserta secara Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes) sesuai SK Menkes
Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 yang telah ditetapkan nomor, nama dan alamatnya
melalui SK Bupati/Walikota tentang penetapan peserta Jamkesmas serta
gelandangan, pengemis, anak terlantar, masyarakat miskin yang tidak memiliki
identitas, pasien sakit jiwa kronis, penyakit kusta dan sasaran Program
Keluarga Harapan (PKH) yang belum menjadi peserta Jamkesmas.
Apabila
masih terdapat masyarakat miskin yang tidak terdapat dalam kuota Jamkesmas,
pembiayaan kesehatannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat dan
mekanisme pengelolaannya mengikuti model Jamkesmas, hal tersebut dimaksudkan
agar semua masyarakat miskin terlindungi jaminan kesehatan dan dimasa yang akan
datang dapat dicapai universal coverage.
Pada
tahun 2014 Pusat Jaminan dan Pembiayaan Kesehatan diharapkan sudah terjadi universal
coverage untuk itu strategi yang perlu dibangun dalam rangka universal
coverage adalah :
1.
Peningkatan cakupan peserta Pemda (Pemda)
2.
Peningkatan cakupan peserta pekerja formal (formal)
3.
Peningkatan cakupan peserta pekerja informal (in-formal)
4.
Peningkatan cakupan peserta individual (individu)
b.
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)
Bagi
Pemerintah Daerah yang mempunyai kemampuan keuangan, maka masyarakat
miskin diluar kuota Jamkesmas pelayanan kesehatannya di tanggung oleh
Pemerintah daerah yang penyelenggaraanya berbeda-beda. Pertanyaan yang harus
terjawab adalah “ Dapatkah uang yang disediakan Pemerintah Daerah dikelola
dengan menggunakan prinsip-prinsip asuransi sosial seperti Jamkesmas dengan
nama Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda)”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut
dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 22H
dinyatakan bahwa daerah mempunyai kewajiban mengembangkan sistem jaminan
sosial. Dengan demikian maka Pemerintah Daerah diwajibkan mengembangkan sistem
jaminan sosial yang didalamnya adalah termasuk jaminan kesehatan.
2.
Keputusan Mahkamah Konsititusi dalam Judicial Review pada Pasal 5
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 diputuskan bahwa :
1.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (1) tidak
bertentangan dengan UUD 1945 selama dimaksud oleh ketentuan tersebut adalah
pembentukan badan penyelenggara Jaminan Sosial Nasional tingkat Nasional yang
berada dipusat.
2.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (3) bertentangan
dengan UUD 1945 karena materi yang terkandung didalamnya telah tertampung dalam
Pasal 52 yang apabila diertahankan keberadaanya akan menimbulkan multitafsir
dan ketidakpastian hukum.
3.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (2) walaupun tidak
dimohonkan dalam potitum namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dari ayat (3) sehingga jika dipertahankan keberadaanya akan
menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum.
4.
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 52 yang dimohonkan tidak
cukup beralasan.
Menyatakan
Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Peraturan
Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten
Kota, dalam lampiran Peraturan Pemerintah tersebut pada huruf B tentang
pembagian urusan pemerintahan Bidang Kesehatan dalam sub bidang pembiayaan
kesehatan Pemerintahan Daerah Provinsi mempunyai kewenangan melakukan :
1).
Pengelolaan/penyelenggaraan, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan
kesehatan skala provinsi.
2).
Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional ( tugas
perbantuan).
Sementara
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan melakukan :
1).
Pengelolaan/penyelenggaraan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan sesuai
dengan kondisi local.
2).
Menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional ( tugas perbantuan).
Sasaran
target program pembangunannya diarahkan pada masyarakat terasing yang ada di
propinsi/daerah perbatasan, seperti Irian Jaya, Kaltim, Kalbar, Riau dengan
tetap memperhatikan daerah lain yang masih terdapat permasalahan masyarakat
terasing. Jadi memang berbeda pada masa Orde Baru, penekanan lebih diarahkan
pada daerah perbatasan bukan lagi penggolongan pada macam masyarakatnya
(kelana, setengah-kelana, dan menetap) tapi pada prioritas daerah. Pertimbangannya
mungkin karena selain jumlah masyarakat terasingnya dan sebagai kestabilan
sosial politik dan wilayah masyarakat sebab dekat dengan wilayah perbatasan.
2.4
Pemberdayaan masyarakat terasing
Pembangunan
pada dasarnya adalah kemauan dan kesanggupan melakukan perubahan yang
direncanakan terhadap masalah-masalah atau masyarakat yang dijadikan sasaran
perubahan itu sendiri, baik dalam kaitannya dengan hal-hak yang bersifat fisik
maupun nonfisik, seperti social dan kebudayaan. Sifat dan hasil yang
dikehandaki pada setiap perubahan yang direncanakan itu adalah menuju pada
perbaikan-perbaikan. Pembangunan masyarakat terpencil hanya dimungkinkan
dapat berhasil kalau agen-agen yang melakukan perubahan itu telah memahami
lingkungan fisik, lingkungan sosial dan kebudayaan masyarakat serta dengan
karakter masyarakat.
Program
pembangunannya masih menggunakan azas pembinaan, namun mereka sudah
menyisipkan konsep-konsep pemberdayaan dan partisipasi. Seperti nampak dalam
tujuan pembinaan mereka, yaitu Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat
Terasing (PKMT) bertujuan memberdayakan masayarakat terasing dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat berperan aktif dalam pembangunan
untuk memperkuat integrasi nasional dengan menggunakan pendekatan partisipatif
dan memperhatikan potensi sosial budaya dan lingkungannya. Jadi memang terlihat
kesan bahwa masyarakat terasing ini oleh pemerintah dianggap sebagai masyarakat
yang punya potensi demi integrasi bangsa tapi kurang berdaya sehingga perlu
dibina oleh pemerintah untuk dapat berperan aktif. Pemukiman tetap mendapatkan
porsi perhatian yang besar dalam mengukur tingkat keberhasilan program. Seperti
yang tertulis di hasil pembinaan dalam Data dan Informasi Pembinaan Masayarakat
Terasing 1999/2000, yang menyebutkan bahwa secara kualitas masayarakat terasing
tersebut telah menetap dan menjadi warga binaan dalam pemukiman sosial yang
teratur dan telah memanfaatkan sarana-sarana sosial yang ada. Berbedanya adalah
sekarang ada konsep pembinaannya yang mengarah pada pengembangan kemandirian
masayarakat terasing dalam memenuhi kebutuhan hidup pada berbagai aspek
kehidupan dan penghidupan agar mampu menanggapi perubahan sosial budaya. Dengan
demikian maka arah pola pembinaan pemukimannya juga berubah tidak sepenuhnya
top down lagi tapi mulai berusaha untuk mengakomodasi keinginanan warga sebagai
perwujudan konsep pemberdayaan dan kemandirian itu. Dan itu nampak dalam
strategi pembinaannya dengan pembagian Tipe Pemukiman Sosial di Tempat Asal
(TPA) dan Tipe Pemukiman Sosial di Tempat Baru (TPB. Dengan pola-pola pembinaan
ini, sepertinya pemerintah ingin untuk tidak memaksakan masyarakat adat
tersebut untuk pindah (resettlement) ke lokasi pemukiman lain. Mereka bisa
memilih jenis pemukimannya. Namun ini nampaknya masyarakat tearsing
disuruh untuk memilih pilihan-pilihan yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Jadi mereka juga tidak sepenuhnya mandiri dalam menentukan pilihannya sendiri,
tetap dalam koridor kebijakan pemerintah yaitu pemukiman.
Dalam
kebijakan PKSMT tersebut juga mulai memperlihatkan bentuk pembinaan masyarakat
terasing yang diusahakan beragam dan melibatkan pihak-pihak lain, tidak seperti
masa sebelumnya yang sifatnya lebih tunggal yaitu resettlement. Disebutkan ada
4 bentuk pembinaannya yaitu pemukiman ditempat asal (in-situ development),
Stimulus Pengembangan Masyarakat (SPM), pemukiman ditempat baru (Ex situ
development), kesepakatan dan rujukan.
Untuk
program Stimulus Pengembangan Masyarakat (SPM), sebenarnya adalah program
pembinaan yang hampir sama dengan program pembinaan PKSMT yang menitikberatkan
pada bentuk pemukiman yang terpadu (tentunya bersama prasarana dan
infrastrukturnya) tapi SPM ini lebih cenderung untuk hanya memberikan
komponen-komponen tertentu saja yang berkaitan dengan sarana sosial dan umum
saja. Seperti misalnya pembibitan-hanya diberi benih dan pelatihan, tidak
diberi rumah pemukiman. Jadi SPM lebih menuntut kepada tingkat swadaya
masyarakat terasing yang tinggi. Diklaim oleh pihak Depsos bahwa pendekatan ini
sudah dilakukan di 8 lokasi pemukiman masyarakat terasing. Namun yang menarik
dari program ini, dari artikel yang ditulis oleh Depsos sendiri ternyata
pelaksanaannya juga di lokasi pemukiman masyarakat terasing yang sudah
dilakukan program pembinaan terlebih dahulu. Jadi seperti program
susulan/sampingan dari program-program yang sudah ada sebelumnya.
2.5 Pengertian Keluarga bencana Alam (KLB)
Bencana alam adalah suatu peristiwa alam
yang mengakibatkan dampak besar bagi populasi manusia.[1] Peristiwa alam dapat berupa banjir,
letusan
gunung berapi, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, badai salju, kekeringan, hujan es, gelombang panas, hurikan, badai tropis, taifun,
tornado, kebakaran liar dan wabah penyakit.[2] Beberapa bencana alam terjadi tidak
secara alami.[2] Contohnya adalah kelaparan, yaitu kekurangan bahan pangan
dalam jumlah besar yang disebabkan oleh kombinasi faktor manusia dan alam.[2] Dua jenis bencana alam yang
diakibatkan dari luar
angkasa jarang
mempengaruhi manusia, seperti asteroid dan badai matahari.[2]
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan
di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit.
Status
Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Kriteria
tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91, tentang
Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan itu,
suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:
- Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
- Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
- Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
- Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya
2.6 Penanganan keluarga Bencana Alam KLB(kejadian
luar biasa)
Dalam
pidato nya presiden pada tahun 2003 mengungkapkan pada bidang kesehatan
terutama pada daerah bencana alam Melanjutkan program darurat pelayanan
kesehatan dasar bagi keluarga miskin, rawan gizi, khususnya untuk bayi, balita,
ibu hamil dan ibu nifas dengan melibatkan partisipasi masyarakat serta
meningkatkan perlindungan hak dan kesehatan reproduksi kaum perempuan,
khususnya dalam rangka menurunkan angka kematian ibu
Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan
sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi
masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara
mandiri. Sebuah Desa dikatakan menjadi desa siaga apabila desa tersebut telah
memiliki sekurang-kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) (Depkes,
2007).
Pos
Kesehatan Desa
Poskesdes
adalah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa
dalam rangka mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat
desa. UKBM yang sudah dikenal luas oleh masyarakat yaitu Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu), Warung Obat Desa, Pondok Persalinan Desa (Polindes), Kelompok
Pemakai Air, Arisan Jamban Keluarga dan lain-lain (Depkes, 2007).
Untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa, Poskesdes memiliki kegiatan:
Untuk dapat menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa, Poskesdes memiliki kegiatan:
- Pengamatan epidemiologi sederhana terhadap penyakit terutama penyakit menular yang berpotensi menimbulkan
- Kejadian Luar Biasa (KLB) dan faktor resikonya termasuk status gizi serta kesehatan ibu hamil yang beresiko.
- Penanggulangan penyakit, terutama penyakit menular dan penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB serta faktor resikonya termasuk kurang gizi.
- Kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana dan kegawatdarutan kesehatan.
- Pelayanan medis dasar sesuai dengan kompetensinya.
- Promosi kesehatan untuk peningkatan keluarga sadar gizi, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), penyehatan lingkungan dan lain-lain.
Dengan
demikian Poskesdes diharapkan sebagai pusat pengembangan atau revitalisasi
berbagai UKBM yang ada di masyarakat desa. Dalam melaksanakan kegiatan
tersebut, Poskesdes harus didukung oleh sumber daya seperti tenaga kesehatan
(minimal seorang bidan) dengan dibantu oleh sekurang-kurangnya 2 orang kader.
Selain itu juga harus disediakan sarana fisik berupa bangunan, perlengkapan dan
peralatan kesehatan serta sarana komunikasi seperti telepon, ponsel atau kurir.
Untuk sarana fisik Poskesdes dapat dilaksanakan melalui berbagai cara/alternatif yaitu mengembangkan Polindes yang telah ada menjadi Poskesdes, memanfaatkan bangunan yang sudah ada misalnya Balai Warga/RW, Balai Desa dan lain-lain serta membangun baru yaitu dengan pendanaan dari Pemerintah (Pusat atau Daerah), donatur, dunia usaha, atau swadaya masyarakat.
Kriteria
Desa Siaga
Kriteria
desa siaga meliputi :
1.
Adanya forum masyarakat desa
2.
Adanya pelayanan kesehatan dasar
3.
Adanya UKBM Mandiri yang dibutuhkan masyarakat desa setempat
4.
Dibina Puskesmas Poned
5.
Memiliki system surveilans (faktor resiko dan penyakit) berbasis masyarakat.
6. Memiliki system kewaspadaan dan kegawatdaruratan bencana berbasis masyarakat.
7. Memiliki system pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat.
8. Memiliki lingkungan yang sehat.
6. Memiliki system kewaspadaan dan kegawatdaruratan bencana berbasis masyarakat.
7. Memiliki system pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat.
8. Memiliki lingkungan yang sehat.
9.
Masyarakatnya ber perilaku hidup bersih dan sehat.
Tahapan
desa siaga :
- Bina yaitu desa yang baru memiliki forum masyarakat desa, pelayanan kesehatan dasar, serta ada UKBM Mandiri.
- Tumbuh yaitu desa yang sudah lebih lengkap dengan criteria pada tahapan bina ditambah dengan dibina oeh puskesmas Poned, serta telah memiliki system surveilans yang berbasis masyarakat.
- Kembang yaitu desa dengan criteria tumbuh dan memiliki system kewaspadaan dan kegawatdaruratan bencana serta system pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat yang telah berjalan.
- Paripurna yaitu desa yang telah memiliki seluruh criteria desa siaga.
2.7
Asuhan kebidanan komunitas pada
masyarakat daerah konflik
Pelayanan kesehatan, termasuk kesehatan jiwa,
belum diberikan secara optimal dan merata, terutama yang berkaitan dengan
perlindungan hak dan kesehatan reproduksi perempuan, penanganan krisis gizi,
dan berjangkitnya penyakit menular, terutama di daerah pengungsian, daerah
konflik, dan daerah yang mengalami bencana alam.
Hal-hal yang dapat dilakulan dalam
menaggulangi daerah konflik,(Rekomendasi Presiden RI tahun 2003)
4.
Dalam rangka menanggulangi masalah kesehatan di daerah konflik dan
pengungsian, Pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan bersama-sama dengan
Pemerintah Daerah setempat, telah
melaksanakan berbagai upaya penanganan melalui serangkaian kegiatan pelayanan
kesehatan, baik yang bersifat tanggap darurat/emergency maupun
pemulihan/ rehabilitatif pasca konflik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
setempat.
5.
Upaya pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan secara bersama oleh
tenaga kesehatan gabungan baik dari pusat maupun dari daerah setempat seperti
dari puskesmas dan jaringannya, rumah sakit, serta jajaran tenaga kesehatan
setempat lainnya.
6.
Jenis pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan, termasuk pelayanan kesehatan jiwa dan psikososial, upaya perbaikan
gizi, dan penyediaan air bersih dan sanitasi.
7.
Khusus mengenai penanggulangan masalah kesehatan jiwa dan psikososial
terhadap pengungsi akibat konflik antara lain telah dilaksanakan di Poso,
Sulawesi Tengah, di Kupang Nusa Tenggara
Timur (pengungsi Eks-Timor Timur), dan Provinsi NAD.
8.
Kegiatan utama penanggulangan masalah kesehatan jiwa dan psikososial
diantaranya adalah pemberian pelayanan kesehatan melalui konseling di lapangan
yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan terlatih.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pembangunan
kesehatan adalah sebagai bagian dari pembangunan nasional, dalam pembangunan
kesehatan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal. Kenyataan yang terjadi sampai saat ini derajat
kesehatan masyarakat masih rendah khususnya masyarakat miskin, hal ini dapat
digambarkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi bagi masyarakat
miskin tiga kali lebih tinggi dari masyarakat tidak miskin.
Dan
dari makalah diatas kita dapat mengambil manfaat,tentang bagaimana asuhan
kebidanan komunitas keluarga miskin,terasing,keluaga bencana alam(KLB) dan
daerah konflik,dimana peran bidan dalam masyarakat dalam kondisi tersebut
sangat dibutuhkan.
B. Saran
Bagi mahasiswa
DIV bidan pendidik,agar lebih kiranya untuk dapat
memahami materi diatas dan dapat
dijalankan dilapangan kelak,serta dapat pula diajarkan pada mahasiswa yang
diajarkan nanti.
Pada pihak
pemerintah,dapat terus memperbaiki kebijakannya dalam bidang kesehatan terutama
dalam bidang kesehatan